Asuransi Cinta ( Bag. Pertama ) By Shobi Bosay
Berobat
S |
udah seminggu ini Reynand sakit. Dia hanya menyendiri di kamar, bersembunyi dari kebisingan luar. Makan pun rasanya tak enak, hambar. Bahkan untuk berbicara saja, terasa menyiksa. Ya, Reynand sedang sakit gigi. Ah, lagu yang bilang lebih baik sakit gigi daripada sakit hati sepertinya belum pernah merasakan sakit gigi. Nyatanya sakit gigi sangat menyiksa. Mulut Reynand terlihat bengkak seperti mulut seorang maling yang tertangkap dan babak belur habis di hajar massa.
Sebenarnya ayahnya Reynand sudah menyarankan untuk berobat ke klinik terdekat, tapi memang Reynand malas pergi ke klinik untuk berobat. Meskipun disuruh seratus kali pun dia tetap tidak mau. Wataknya memang keras dan memilih bertahan dengan sakitnya yang terus menyiksanya. Sakit gigi menyebabkan seluruh tubuhnya pun ikut sakit.
Pada akhirnya Reynand harus kalah dengan keadaan. Karena saat dalam perjalanan kerja yang sebagai marketing Reynand merasa giginya tambah parah sakitnya dan berfikir mencari klinik gigi terdekat. Watak batu-nya telah raib oleh kepepet. Dan terpaksa juga hari ini dia keluar kamar bahkan keluar rumah untuk bekerja. Pekerjaannya tidak mungkin untuk ditinggalkan.
Bekerja sebagai marketing membuat Reynand bisa keluar ke mana-mana, karena setiap hari dia harus keluar ke lapangan menemui customer-nya satu persatu dari barat ke timur, utara ke selatan. Itu semua dialani Reynand dengan senang hati. Setelah mencari-cari, akhirnya Reynand mendapatkan klinik gigi di pinggir jalan, yaitu klinik gigi yang terbesar di Indonesia dengan logo bergambar gigi dan sikat gigi yang tersenyum.
Setelah memarkirkan motornya, sambil memegangi pipinya yang sudah bengkak dan mengaduh, Reynand masuk ke klinik tersebut. Di dalam Reynand langsung di sambut resepsionis klinik dengan senyum yang merekah dan sedikit dibuat-buat agar terkesan ramah.
“Selamat pagi, selamat datang di Klinik Gigi Andira Tlogosari,“ sapa respsionis.
Kebetulan sekali hari ini Reynand sedang di daerah Tlogosari Semarang karena memang sudah membuat janji dengan customer nanti pada jam duabelas siang. Sekarang masih jam 10.15 WIB, masih ada waktu dua jam lagi untuk berobat.
“Ada yang bisa saya bantu, Bapak?” tanya resepsionis pada Reynand.
“Iya, Mbak. Saya mau periksa gigi,“ jawab Reynad di sela-sela mengaduh karena tak tahan dengan giginya yang terasa semakin menyiksa.
“Sudah pernah periksa ke klinik kami sebelumnya, Pak?” tanya resepsionis lagi yang masih memamerkan deretan gigi-gigi putih dan tampak terawatnya.
“Belum, Mbak,“ jawab Reynand lagi sambil memegang giginya.
“Baik, tunggu sebentar ya, Pak. Nanti akan kami panggil sesuai nomer antrean Bapak.”
Reynand langsung beranjak dan mencari tempat duduk di ruang tunggu yang tersedia. Sudah ada beberapa orang yang terlihat menunggu antrean.
Sambil menunggu giliran reynand hanya bisa melihat poster-poster yang terpasang di klinik yang menghimbau untuk selalu rajin memeriksakan gigi enam bulan sekali.
“Reynand Nur Cahyo.”
Suara itu terdengar dari resepsionis yang menyapanya tadi. Dengan masih memegangi pipi, Reynand langsung menuju ruang periksa yang sudah di tunggu-tunggu selama hampir satu jam.
Ruang periksa ini tidak terlalu luas. Dindingnya berwarna putih bersih dan tampak rapi.
”Selamat pagi Bapak, perkenalkan saya Dokter Ratna?” Dokter Ratna pun menjabat tangan Reynand, Reynand pun refleks membalasnya.
“Silakan duduk Bapak, apa keluhannya?”
Reynand pun duduk di depan Dokter Ratna.
“Ini, Bu Dokter, gigi saya sakit sampai bengkak gini,” jawab Reynand pada Dokter Ratna.
Dokter Ratna ini cantik dan menawan. Terlihat sangat ramah dengan pembawaan yang berwibawa. Dia memakai kerudung putih yang di seragamkan dengan jas doket yang dipakainya. Tampak serasi dan menambah aura kecantikannya.
“Silakan duduk di tempat duduk itu.” Dokter Ratna menunjuk tempat duduk yang berada di sebelah meja kerjanya.
Tempat duduk itu persis yang pernah Reynand lihat dalam film komedi Mr. Bean episode periksa gigi. Tempat duduk yang dikhususnya untuk pemeriksaan gigi. Tempat duduk itu terlihat canggih karena bisa dinaik-turunkan dan lain-lain.
Setelah Reynand duduk dengan debar jantung yang tak keruan, Dokter Ratna menyuruh Reynand membuka mulutnya dan dimulailah pemeriksaan. Alat-alat di sini sudah modern, berbeda dengan yang ada di puskesmas biasa reynand periksa.
Setelah selesai, Reynand kembali ke meja kerja Dokter Ratna.
“Bapak Reynand, ini saya kasih resep, nanti obatnya bisa dibeli di apotek. Yang ini nanti di kasihkan ke kasir.”
Reynand sekilas melihat jam dinding di ruang tersebut dan kaget karena sudah menunjukkan pukul 11.45 WIB. Sebentar lagi dia harus bertemu customer. Reynand langsung berterima kasih dan bergegas ke kasir untuk membayar biaya pemeriksaan.
“Bapak Reynand, total semuanya seratus lima puluh tujuh ribu rupiah.”
Suara kasir yang sebenarnya halus itu mengagetkan Reynand, karena baginya ini sangat mahal. Biasanya periksa di puskesmas gratis tanpa di pungut biaya, tapi kali ini Reyanand harus bayar sebesar itu pula.
Reynand hanya bisa menggerutu dalam hati. Dengan berat hati Reynand merelakan uang—yang bagi Reynand sangat banyak—harus raib begitu saja.
***
Bersambung.................
Tidak ada komentar